Dalil Salat Musafir dalam Al-Quran dan Hadis

Dalil Salat Musafir dalam Al-Quran dan Hadis

Dalil Salat Musafir dalam Al-Quran dan Hadis

Salat adalah rukun Islam kedua yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mukallaf. Namun, dalam kondisi tertentu, seperti saat melakukan perjalanan (musafir), terdapat keringanan (rukhsah) yang diberikan oleh Allah SWT. Keringanan ini berupa qashar (meringkas) dan jamak (menggabungkan) salat. Artikel ini akan membahas secara komprehensif dalil-dalil yang mendasari keringanan salat bagi musafir, baik dari Al-Quran maupun Hadis, serta implikasi hukumnya.

Dalil Salat Musafir dalam Al-Quran

No Title

Al-Quran merupakan sumber hukum utama dalam Islam. Di dalamnya, terdapat ayat-ayat yang menjadi landasan diperbolehkannya qashar salat bagi musafir. Ayat yang paling sering dikutip adalah Surat An-Nisa ayat 101:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا

Artinya: "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu."

Dari ayat ini, para ulama berbeda pendapat mengenai alasan dibolehkannya qashar salat. Sebagian ulama berpendapat bahwa qashar salat dibolehkan karena adanya rasa takut diserang oleh orang-orang kafir (sebagaimana disebutkan dalam ayat). Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa rasa takut bukanlah syarat utama, melainkan hanya kondisi yang umum terjadi pada saat ayat tersebut diturunkan. Dengan kata lain, qashar salat tetap dibolehkan meskipun tidak ada rasa takut, selama memenuhi syarat-syarat sebagai musafir.

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama, karena beberapa alasan:

  1. Hadis-hadis Nabi SAW yang menjelaskan tentang qashar salat tidak mengaitkannya dengan rasa takut. Nabi SAW seringkali mengqashar salat dalam perjalanan-perjalanan beliau, meskipun tidak ada indikasi adanya rasa takut.
  2. Ayat ini menggunakan kata "جُنَاحٌ" (junahun) yang berarti "dosa" atau "kesalahan". Ini mengindikasikan bahwa mengqashar salat saat bepergian bukanlah suatu kesalahan, bahkan diperbolehkan.
  3. Qaid "إنْ خِفْتُمْ" (in khiftum) merupakan ghalibiyah, yaitu kondisi yang sering terjadi, bukan ta'liliyah (syarat yang mengikat). Artinya, rasa takut adalah kondisi yang umum terjadi pada saat itu, tetapi bukan syarat mutlak untuk diperbolehkannya qashar salat.

Selain ayat di atas, terdapat juga ayat-ayat lain yang secara tidak langsung mendukung diperbolehkannya keringanan dalam beribadah saat dalam kondisi kesulitan, seperti saat bepergian. Ayat-ayat tersebut menekankan bahwa Allah SWT tidak memberatkan hamba-Nya dan memberikan kemudahan dalam beribadah.

Dalil Salat Musafir dalam Hadis

No Title

Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang tata cara dan ketentuan salat musafir. Berikut adalah beberapa hadis penting yang menjadi landasan hukum salat musafir:

  1. Hadis tentang Qashar Salat: Dari Ibnu Umar RA, ia berkata: "Aku menemani Rasulullah SAW dan beliau tidak pernah menambah salat (melebihi dua rakaat) dalam perjalanan. Begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman." (HR. Bukhari dan Muslim)

    Hadis ini secara jelas menunjukkan bahwa Nabi SAW selalu mengqashar salat saat bepergian, dan hal ini juga diikuti oleh para sahabat beliau.

  2. Hadis tentang Jamak Salat: Dari Anas bin Malik RA, ia berkata: "Jika Rasulullah SAW berangkat sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan salat Zuhur hingga waktu Ashar. Kemudian beliau berhenti dan menjamak keduanya. Dan jika matahari tergelincir sebelum beliau berangkat, beliau mengerjakan salat Zuhur terlebih dahulu, kemudian berangkat." (HR. Bukhari dan Muslim)

    Hadis ini menjelaskan bahwa Nabi SAW seringkali menjamak salat Zuhur dan Ashar saat bepergian, baik jamak taqdim (mendahulukan Ashar ke waktu Zuhur) maupun jamak ta'khir (mengakhirkan Zuhur ke waktu Ashar).

  3. Hadis tentang Jarak Tempuh Musafir: Meskipun tidak ada hadis yang secara eksplisit menyebutkan jarak minimal untuk diperbolehkannya qashar dan jamak salat, para ulama berijtihad berdasarkan pemahaman mereka terhadap praktik Nabi SAW dan para sahabat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa jarak minimal adalah sekitar 80-90 kilometer.

    Perlu dicatat bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jarak minimal ini. Beberapa ulama berpendapat bahwa jarak minimal lebih pendek, sementara yang lain berpendapat lebih panjang. Perbedaan ini didasarkan pada interpretasi yang berbeda terhadap hadis-hadis yang ada.

  4. Hadis tentang Salat Sunnah saat Musafir: Dari Ibnu Umar RA, ia berkata: "Aku melihat Rasulullah SAW tidak mengerjakan salat sunnah rawatib ketika dalam perjalanan, kecuali salat witir dan salat sunnah fajar." (HR. Bukhari dan Muslim).

    Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak mengerjakan salat sunnah rawatib (salat sunnah yang mengiringi salat fardhu) ketika dalam perjalanan, kecuali salat witir dan salat sunnah fajar. Hal ini menunjukkan keringanan tambahan bagi musafir.

Syarat-syarat Diperbolehkannya Salat Musafir

No Title

Untuk dapat memanfaatkan keringanan qashar dan jamak salat, seorang Muslim harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya:

  1. Niat Bepergian: Harus memiliki niat yang jelas untuk melakukan perjalanan, bukan hanya sekedar keluar rumah untuk urusan sesaat.
  2. Jarak Tempuh: Jarak tempuh perjalanan harus mencapai jarak minimal yang telah ditetapkan oleh para ulama (sekitar 80-90 kilometer menurut mayoritas ulama).
  3. Tujuan yang Jelas: Tujuan perjalanan harus jelas dan bukan untuk tujuan yang maksiat.
  4. Bukan Mukim: Selama dalam perjalanan, tidak berniat untuk menetap (mukim) di suatu tempat selama lebih dari empat hari (menurut mayoritas ulama). Jika berniat menetap lebih dari empat hari, maka tidak diperbolehkan lagi mengqashar dan menjamak salat.
  5. Memulai Perjalanan: Keringanan qashar dan jamak salat baru berlaku setelah memulai perjalanan, yaitu setelah melewati batas wilayah tempat tinggal (keluar dari batas kota atau desa).

Tabel Perbandingan Pendapat Ulama tentang Jarak Minimal Salat Musafir

No Title

Berikut adalah tabel yang merangkum perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jarak minimal yang memperbolehkan qashar dan jamak salat:

MazhabJarak Minimal (Estimasi)Dasar Pendapat
Hanafi91 KilometerBerdasarkan perhitungan jarak yang ditempuh dalam perjalanan sehari penuh menggunakan unta.
Maliki88.7 KilometerMirip dengan Hanafi, namun dengan perhitungan yang sedikit berbeda.
Syafi'i88.7 KilometerMengadopsi pendapat Maliki, menganggap bahwa jarak ini adalah jarak yang dianggap jauh oleh masyarakat umum pada saat itu.
Hanbali80 KilometerMenggunakan dalil yang lebih longgar dan mempertimbangkan bahwa jarak 80 kilometer sudah merupakan jarak yang cukup signifikan untuk dianggap sebagai perjalanan.
Ibnu TaimiyahTidak ada batasan pastiBerpendapat bahwa yang menjadi patokan adalah 'urf (kebiasaan) masyarakat setempat. Jika suatu perjalanan dianggap sebagai perjalanan jauh oleh masyarakat, maka diperbolehkan untuk mengqashar dan menjamak salat, tanpa memandang jarak tempuhnya secara pasti. Pendapat ini lebih fleksibel dan mempertimbangkan konteks sosial dan budaya.

Tabel ini menunjukkan bahwa terdapat variasi pendapat mengenai jarak minimal salat musafir. Perbedaan ini disebabkan oleh interpretasi yang berbeda terhadap dalil-dalil yang ada dan juga perbedaan dalam mempertimbangkan konteks sosial dan budaya. Penting bagi seorang Muslim untuk memahami perbedaan pendapat ini dan memilih pendapat yang paling sesuai dengan keyakinan dan pemahamannya, serta dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi yang dihadapi.

Hikmah dan Implikasi Hukum Salat Musafir

Keringanan salat bagi musafir mengandung hikmah yang mendalam. Di antaranya adalah:

  1. Kemudahan dan Keringanan: Allah SWT memberikan kemudahan bagi hamba-Nya agar tidak merasa terbebani dalam menjalankan ibadah, terutama dalam kondisi sulit seperti saat bepergian.
  2. Menjaga Kekhusyukan: Dengan adanya keringanan, seorang musafir dapat menjaga kekhusyukan dalam salatnya, karena tidak terburu-buru dan dapat melaksanakan salat dengan tenang.
  3. Menghindari Kesulitan: Keringanan ini membantu menghindari kesulitan yang mungkin timbul akibat perjalanan, seperti kesulitan mencari tempat yang layak untuk salat atau kesulitan menjaga wudhu.
  4. Merealisasikan Maqashid Syariah: Keringanan salat musafir sejalan dengan maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat), yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam hal ini, keringanan membantu memelihara agama dengan tetap melaksanakan salat meskipun dalam kondisi sulit.

Implikasi hukum dari salat musafir adalah:

  1. Wajib atau Sunnah Muakkad: Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum qashar salat. Sebagian ulama berpendapat bahwa qashar salat adalah wajib, jika memenuhi syarat-syaratnya. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa qashar salat adalah sunnah muakkad (sunnah yang sangat dianjurkan), dan lebih utama daripada salat secara sempurna.
  2. Tata Cara Salat Jamak: Salat jamak dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu jamak taqdim (mendahulukan salat yang kedua ke waktu salat yang pertama) dan jamak ta'khir (mengakhirkan salat yang pertama ke waktu salat yang kedua). Tata cara pelaksanaannya adalah dengan melaksanakan kedua salat secara berurutan, tanpa jeda yang lama.
  3. Tidak Mengqadha Salat: Jika seorang musafir tidak melaksanakan salat qashar atau jamak selama dalam perjalanan, maka ia tidak wajib mengqadha salat tersebut setelah tiba di tempat tujuan. Hal ini karena keringanan tersebut diberikan sebagai kemudahan, bukan sebagai pengganti kewajiban.

Kesimpulan

Dalil-dalil dari Al-Quran dan Hadis secara jelas menunjukkan bahwa Allah SWT memberikan keringanan bagi musafir dalam melaksanakan salat, berupa qashar dan jamak. Keringanan ini diberikan sebagai bentuk kasih sayang dan kemudahan bagi hamba-Nya, agar tetap dapat melaksanakan ibadah dengan khusyuk dan tanpa merasa terbebani. Penting bagi setiap Muslim untuk memahami ketentuan-ketentuan salat musafir agar dapat melaksanakannya dengan benar dan sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jarak minimal dan hukum qashar salat hendaknya disikapi dengan bijak, dengan memilih pendapat yang paling sesuai dengan keyakinan dan pemahaman, serta dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi yang dihadapi.

Tata Cara Salat Musafir yang Benar

Sal Moh Yusuf

Tata Cara Salat Jama’ yang Benar

Sal ahmeed

Tata Cara Salat Safar yang Benar

Sal Moh Yusuf